ORASI BUDAYA: IR AKBAR TANDJUNG

Example blog post alt

MENCINTAI KEBERAGAMAN NUSANTARA DENGAN NAFAS ISLAM

PURWOKERTO, 14 JUNI 2017

KEBERAGAMAN NUSANTARA

  • Nusantara merupakan kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua (sebagian besar merupakan wilayah Indonesia). Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud.
  • Ketika penggunaan nama "Indonesia" (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia. Namun demikian, istilah Nusantara kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris.
  • Secara geografis Indonesia dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia, serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau, Dengan populasi lebih dari 263.846.946 juta jiwa pada tahun 2016, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 220 juta jiwa.
  • Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah berada di bawah penjajahan Belanda, Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belandamenyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat berbagai hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.
    • Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Berdasarkan rumpun bangsa (ras), Indonesia terdiri atas bangsa asli pribumi yakni Mongoloid Selatan/Austronesia dan Melanesia di mana bangsa Austronesia yang terbesar jumlahnya dan lebih banyak mendiami Indonesia bagian barat. Secara lebih spesifik, suku bangsa Jawa adalah suku bangsa terbesar dengan populasi mencapai 41,7% dari seluruh penduduk Indonesia. Semboyan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda namun tetap satu), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.

    UMAT DI NUSANTARA

    Teori umum yang popular menyebutkasn bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya (ada yang menyebut abad ke-7). Teori lain menyebut bahwa penyebaran agama Islam dibawa langsung oleh para ulama Arab, bahkan juga oleh para ulama dari China. Terlepas dari itu, pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan di Jawa dan Sumatera.

    Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia).

    Bagaimanapun, Islam telah mewarnai khasanah budaya Nusantara, sejak kehadiran agama Islam yang terus berkembang pesat. Islam diterima di Nusantara antara lain karena:

    memakai pendekatan kultural (kebudayaan yang lebih adaptif) yang lebih dominan ketimbang pendekatan politik. Di Jawa misalnya, para Wali memakai pendekatan simbolik, dengan menciptakan tembang-tembang dan menggubah ulang kisah-kisah dalam pewayangan

    sifat atau ajaran agama Islam yang egaliter (mengedepankan prinsip kesetaraan) dan demokratis, tidak mengenal kasta (perbedaan kelas dalam masyarakat), juga menjadi faktor penting. Ini kontras dengan karakter agama sebelumnya, terutama Hindu

    ajaran Islam yang menghendaki pemeluknya untuk menghargai realitas pluralisme atau keberagaman (agar saling mengenal, litaarafu) dan toleransi

    Islam mendorong kemajuan dengan pesan-pesannya untuk menguasai ilmu pengetahuan (selain terdapat aspek atau dimensi mistis, juga terdapat aspek rasionalitas)

    REFLEKSI : UMAT ISLAM INDONESIA

    • Sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, kita menyadari akan adanya realitas keberagaman bangsa Indonesia, baik beragam secara suku, agama, bahasa, adat-istiadat dan sebagainya. Tetapi, di dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kita bersatu di dalam kebersamaan untuk bersama-sama membangun bangsa ini ke depan dengan lebih baik dan bermartabat.
      • Bangsa kita adalah bangsa yang religius. Hal ini ditunjukkan dari eksistensi dan peran umat beragama yang memiliki kebebasan di dalam menjalankan ibadah agama dan keyakinannya masing-masing. Umat beragama (terutama Kaum Muslimin yang merupakan mayoritas) merupakan modal utama bangi bangsa Indonesia untuk tidak saja memperkokoh citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius, tetapi lebih daripada itu juga berperan penting di dalam mengembangkan sumberdaya manusia, sumber insani pembangunan yang berakhlak mulia atau berbudi pekerti luhur.

      Bersandar pada ajaran Islam sebagai rahmatan ll alamin, maka perlu ditegaskan sikap-sikap keberagamaan yang mengedepankan ekspresi (sebagaimana sering diungkapkan Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid) :

      Universalitas Islam à mengedepankan konsistensi atas nilai-nilai kemanusiaan/persaudaraan/hak asasi manusia (HAM); Islam yang menebarkan kedamaian dan kesejahteraan; serta Islam yang sejalan dengan modernitas/progresifitas dan demokrasi.

      Islam yang inklusif à terbuka dan tidak eksklusif atau menutup diri.

      Islam yang dialogis à interaksi sosial yang berkualitas dan produktif.

      Islam yang tidak ekstrim à ummatan wasathan/umat yang mampu berdiri di tengah-tengah.

      Islam yang toleran à menghargai realitas keberagaman atau kemajemukan bangsa.

      • Pemikiran-pemikiran tersebut sudah melekat dalam sistem perkaderan HMI dengan platform Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang dikembangkan terutama oleh Nurcholish Madjid, bahkan disahkan dalam Kongres IX HMI di Malang pada 1969. Para aktivis HMI dan KAHMI tentu sudah sangat familiar dengan NDP HMI – sebagai “pemandu nilai” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

      Pada hakikatnya watak umat Islam Indonesia adalah moderat yang ditandai oleh sikapsikap di atas. NU dan Muhammadiyah, merupakan representasi dari arus utama (mainstream) Islam Indonesia yang moderat dan toleran, yang di dalam mengembangkan dakwahnya dilakukan secara damai dan anti-kekerasan dan berwatak kemajuan. Mereka mengetengahkan Islam secara substansial dan tidak menghendaki formalisasi agama dalam produk-produk kenegaraan.

      Terkait dengan dinamika sosial dan politik akhir-akhir ini yang dikesankan bahwa umat Islam anti-Kebhinekaan, maupun dikaitkan dengan aksi-aksi terorisme (yang nyata-nyata bukan ajaran Islam), maka seyogyanya kita ambil hikmahnya. Kita tidak usah terpancing untuk meresponsnnya secara berlebihan, kecuali secara obyektif dan proporsional.

      Merespons berbagai sorotan yang ditujukan kepada Islam seolah-olah sebagai agama yang membenarkan aksi-aksi terorisme, maka diperlukan upaya dari dalam diri umat Islam sendiri, terutama dari ormas-ormas dan elite-elite keagamaan untuk proaktif di dalam menjelaskan hakikat Islam yang rahmatan lil alamin à agama yang penuh rahmat, menebarkan kedamaian (salam), dan membuka cakrawala bagi kemajuan peradaban umat manusia.

      Umat Islam diharapkan agar tidak terpengaruh oleh ide-ide dan gerakan-gerakan radikal yang pada saat ini banyak berkembang di beberapa negara di dunia, khususnya di Timur Tengah. Selain itu, juga sangat dibutuhkan adanya pendidikan tentang pemahaman dan penghormatan terhadap keberagaman sejak dini bagi anak-anak didik, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga. Bulan Ramadhan ini, dapat kita jadikan momentum yang baik dalam kerangka hal tersebut.

      Di sisi lain, tentu saja kita menolak klaim atau tuduhan yang ditujukan kepada umat Islam yang dikesankan anti-Kebhinekaan atau anti-Pancasila, mengingat umat Islam, terutama para tokoh-tokohnya memiliki andil yang tidak sedikit dalam perjuangan bangsa. Bahkan, perlu kita ingatkan bahwa lahirnya Pancasila sebagaimana yang kita kenal selama ini, tidak lain merupakan gagasan dan pandangan dari The Founding Fathers yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mewakili berbagai umat beragama, khususnya Islam. Mereka menyusun sila-sila dalam Pancasila dengan penuh kearifan dan semangat persatuan, termasuk ketika pada akhirnya disepakati sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, pagi hari menjelang Sidang Pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945 yang agenda utamanya adalah pengesahan UUD Negara Republik Indonesia dan pemilihan Presiden-Wakil Presiden pertama, yakni Soekarno-Hatta.

      • Dengan demikian, Indonesia merupakan negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Nuansa keagamaan atau religiusitas kebangsaan kita juga ditegaskan dalam Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Bahkan secara khusus, dalam batang tubuh UUD 1945 Bab IX tentang Agama disebutkan dalam Pasal 29, bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (Ayat 1), dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Ayat 2). Hal tersebut tidak berarti Indonesia merupakan negara agama dalam pengertian sistem politik dan ketatanegaraannya merupakan derivasi formalisasi syariat keagamaan. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler, mengingat nilai-nilai substansial dan universal dari agama-agama yang ada mempunyai peranan yang penting dalam membentuk dan memperkuat Keindonesiaan.
      • Dalam konteks ini, sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak saja merupakan Dasar negara RI, tetapi juga :
      • Pancasila sebagai falsafah bangsa, suatu nilai-nilai dasar (basic values) yang digali dari tradisi kebangsaan kita.
      • Pancasila sebagai “ideologi terbuka” adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman, bukan “ideologi tertutup” yang kaku dan statis. Pancasila bercorak “Sosialisme-religius” – sebagaimana diulas oleh Nurcholish Madjid.
      • Pancasila sebagai “common platform”, sebagai suatu visi atau platform bersama.
      • Pancasila sebagai “common denominator” (yang mempersatukan, atau yang menyamakan kedudukan seluruh warga bangsa).
      • Pancasila sebagai suatu konsensus nasional, sebagai pengikat kebangsaan kita.
      • Pancasila sebagai suatu identitas nasional.
      • Pancasila sebagai referensi/panduan kebangsaan dan kebijakan negara.
      • Pancasila sebagai “sumber dari segala sumber hukum”, artinya semua produk hukum di Indonesia harus mengacu/tidak bertentangan dengan hakikat Pancasila.

      Melalui momentum Ramadhan, dalam konteks ini maka marilah kita tunjukkan bahwa umat Islam Indonesia mampu untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan demikian, maka dalam konteks persatuan nasional, hal tersebut penting sebagai modal untuk merajut kembali kebersamaan seluruh elemen bangsa. Saling mampu menumbuhkan rasa saling percaya satu sama lain. Islam yang rahmatan lil alamin juga terkandung maksud menebar kebersamaan (saling menumbuhkan empati antar-sesama), saling melindungi, saling berbagi, saling belajar (berbagi hikmah), saling bertoleransi, harga-menghargai, saling bekerja sama untuk kemajuan bersama (bangsa).**


Oleh Admin | Minggu, 18 Juni 2017 - 05:44 WIB

Belum ada komentar

Tinggalkan Komentar